Jumat, 22 Agustus 2008

BUKU MUSIK : CELAH BARU DUNIA PUSTAKA INDONESIA


Dibandingkan chicklit dan buku-buku populer lainnya, buku musik mungkin kurang begitu diperhatikan eksistensinya. Padahal, jenis buku yang satu ini bisa menjadi celah baru bagi dunia pustaka di Indonesia.

Kurangnya eksistensi ini disebabkan oleh pandangan masyarakat terhadap buku musik itu sendiri. Ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar, buku musik tidak lain adalah buku kumpulan lagu-lagu kebangsaan dan lagu-lagu daerah sebagai panduan pelajaran seni musik di sekolah. Memang, jenis buku tersebut juga termasuk ke dalam buku musik, bersama dengan buku partitur musik dan cara bermain gitar atau piano.

Namun sekarang, paradigma saya akan buku musik mulai bergeser. Buku musik yang saya lihat adalah buku-buku tebal tentang Bob Dylan, The Beatles, dan Nirvana, ratusan halaman berisi istilah-istilah musik, sejarah blues, rock n roll atau jazz, kumpulan desain sampul album rekaman sampai kumpulan lagu terlaris tangga lagu Billboard. Jika dulu saya mengenal buku musik dalam setiap pelajaran seni musik di sekolah, sekarang saya menemukannya di setiap diskusi seni rupa, pemutaran film atau di sela-sela kunjungan ke toko buku. Tidak sekedar tanggungjawab seperti buku-buku pelajaran yang memang wajib dibeli, buku musik bagi saya sudah menjadi kepuasan tersendiri.

Dari Kritikus Sampai Musisi


Jauh sebelum saya mengoleksi buku-buku musik ini, di negara maju seperti Amerika dan Eropa, pendokumentasian musik menjadi suatu buku telah lama dilakukan. Jejaknya bisa dilacak dari sejak munculnya era perjalanan rock n roll di Amerika pada era 60an. Seiring dengan majunya industri musik sampai beberapa dedake kemudian, permintaan akan buku musik mengalir deras. Banyak buku-buku musik yang diproduksi dan diterbitkan. Bahkan tidak sedikit yang dicetak ulang.

Si pembuat buku musik sebagian besar adalah mereka yang telah lama berkecimpung di media-media cetak, jurnalis musik, mulai dari editor majalah dan mereka yang sering menulis di majalah-majalah musik. Namun tidak sedikit orang di luar predikat itu menulis buku musik, mulai dari seniman, guru sekolah sampai si musisi itu sendiri. Merekalah yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan musik selama berabad-abad. Tanpa mereka, musik bak lembaran foto usang yang tersimpan di lemari.

Dari Biografi Sampai Kumpulan Catatan Harian

Ragam jenis buku musik hadir sesuai dengan tema yang dibawanya. Ada buku biografi musisi terkenal, ada buku yang berisi daftar band, musisi dan penyanyi dari A-Z. Ada yang hanya menampilkan sampul album rekaman dari masa ke masa. Ada pula yang membahas tentang musisi yang mati muda, sampai catatan harian seorang musisi.

Tidak sulit menemukan jenis buku musik yang saya sebutkan tadi. Kamu bisa pergi ke toko-toko buku dan mencari rak buku luar. Dari hasil riset kecil-kecilan terhadap ragam buku musik yang ada, saya mencoba mengkategorikannya ke dalam 6 jenis, yakni :

1.Biografi
Biografi berisi profil dan sejarah karir mulai dari musisi, penyanyi, band atau tokoh yang berpengaruh dalam musik, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

2.Wacana

Buku wacana berisi banyak wacana tentang musik. Mulai dari sejarah genre musik, kajian teori musik sampai studi kultural musik dikaitkan dengan perkembangan budaya populer.

3.Ensiklopedi

Ensiklopedi berisi berisi ribuan daftar istilah dari A-Z yang berkaitan dengan musik, seperti nama band, musisi, biduan, berserta penjelasannya.

4.Antologi

Antologi berisi ragam kumpulan tulisan tentang musik. Biasanya ditulis oleh banyak orang. Temanya beragam, mulai dari yang teoritis sampai cerita ringan.

5.Buku Visual

Buku visual lebih mengedepankan tampilan visual daripada tulisan. Misalnya gambar-gambar sampul depan album rekaman atau kumpulan esai foto.

6.Jurnal atau catatan harian

Jurnal atau catatan harian berisi pengalaman hidup orang terhadap musik yang ia dengar atau perjalanan orang yang bertemu musisi terkenal.

Minimnya Buku Musik di Indonesia


Dari jenis-jenis buku yang disebutkan di atas, saya melihat sebagian besar bahkan hampir seluruhnya adalah terbitan luar, sedikit yang telah dialihbahasakan. Di Indonesia sendiri, penerbitan buku musik boleh dibilang minim. Boleh jadi masalah klasiknya adalah anggapan bahwa buku musik belum jelas pasarnya. Bagi penerbit, menerbitkan buku musik berarti berani mengambil resiko besar, mengingat buku semacam ini mungkin boleh jadi kurang menjual jika dibandingkan dengan chicklit, komik, novel atau naskah film yang pasarnya jelas dan sangat menjanjikan. Penerbit memilih menerbitkan chicklit atau komik yang memang tren di kalangan remaja dan anak muda daripada buku musik yang, mungkin, bagi mereka belum begitu jelas pasarnya.

Ironisnya, maraknya penerbitan majalah di Indonesia menciptakan banyak penulis dan kritikus handal yang potensial sebagai penulis buku musik. Sedih jika akhirnya kita melihat banyak penulis luar yang justru menulis tentang sejarah musik di Indonesia. Boleh jadi masalah klasiknya adalah waktu dan tenaga. Mulai dari menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan atau berbulan-bulan menghabiskan sesi wawancara dengan musisi atau lelahnya mengikuti tur band agar tulisan dan gambar yang diperoleh lebih akurat dan menarik. Dengan kata lain, baik si penulis dan penerbit tetap harus berpikir dua kali untuk menulis dan menerbitkannya.

Celah Baru Dunia Pustaka Indonesia

Padahal, jika mau dilihat dari segi bisnis, buku musik adalah celah baru yang potensial dan amat menjanjikan. Dari remaja, anak muda sampai kalangan dewasa adalah pasar yang jelas. Hal ini didukung oleh pelbagai indikasi, mulai dari ramainya tayangan musik di media elektronik, ajang bakat musik dan ragam band yang digandrungi sampai tingginya frekuensi konser musik dari musisi dan band luar di Indonesia. Munculnya fan club macam Beatlemania, Sobat Padi dan Slankers adalah indikasi bagus bagi pasar buku musik, sehingga sangat mungkin apabila ada penulis yang ingin mendokumentasikan perjalanan karir dari band-band macam Slank, Dewa atau Peterpan, misalnya, untuk kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku biografi. Dengan wawancara mendalam, ragam fakta dan polesan foto serta kemasan yang menarik, buku musik bukan lagi sekedar bahan pustaka untuk dibaca, Ia bahkan akan menjadi semacam collectible item, sama seperti fans mengoleksi membeli kaset, CD, kaus, Poster dan memorabilia lainnya. Ini berarti, kehadiran buku musik akan menjadi sebuah prestise tersendiri di kalangan masyarakat, khususnya pecinta musik.

Di satu sisi, kehadiran buku musik mendorong dinamika musik di Indonesia menjadi kian hidup dan berkembang karena terdokumentasi dengan baik. Di sisi yang lain, dilihat dari penulis dan pangsa pasarnya, buku musik akan menjadi celah baru yang menjanjikan bagi bisnis penerbitan di Indonesia. Terlebih, kehadiran buku musik akan memberi warna bagi dunia pustaka di tengah ragam jenis penerbitan yang kian marak sekarang ini. Tanpanya, musik bak masakan hambar yang tiada rasanya. Tunggu apa lagi ? Rekam, tonton, dengar, tulis dan terbitkan.

Wahyu Nugroho
Penggila piringan hitam; Editor salah satu penerbit di Jakarta

karolina komstedt: “Being a famous band has never been our goal.”


berkenaan dengan lawatan khususnya ke Indonesia pada Maret tahun lalu, Saya sangat beruntung bisa mengobrol dengan Johan Agregard dan Karolina Komstedt dari Club 8 via surat elektronik. Actually saya mewawancarainya untuk sebuah majalah musik mainstream tempat saya bekerja. Dan you know what, setelah edisi ini cetak, saya langsung memberikan dan memperlihatkan kepada mereka terbitan yang ada wawancara ini, dan mereka nampak senang, they say kalo ini majalah dari Indonesia yang memuat wawancara kami yang pertama mereka pegang. So Check this out!

Hi Johan, Karolina, apa kabar, lagi sibuk apa nih?
Karolina: hai, wahyu kabar saya baik. Saat ini saya sedang sibuk rekaman, disamping itu saya sedang menulis banyak scrpit film bersama penulis swedia. It feels great, saya tidak pernah sebegitu terinspirasi sebelumnya.
Johan: saya juga baik-baik, wahyu. Saat ini saya lagi recovery setelah liburan saya di Hongkong. It totally destroyed me, tapi seru kok.


saat ini kalian lagi bikin album keenam, bisa kasih bocoran judul albumnya apa dan bakal seperti apa nih album baru ini?apa tetap seperti Strangely Beautiful? seperti apa pendekatan kalian dalam album baru ini?

Johan: Mmm..sayangnya saya kami belum menemukan judul yang tepat dan kita belum tahu juga bakal seperti apa album ini nantinya. Sejauh ini kita udah buat 3 album yang punya style yang serupa dan yang kita rasa menjadi seperti trilogi; Club 8, Spring came, rain fell dan Strangely beautiful. Album baru ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Saya mulai merasa enjoy bermain gitar lagi, jadi ini berarti akan banyak gitar, sound-sound akustik dan minim elektronik. ketika sudah sampai pada perasaan keseluruhan dari album, ini adalah perasaan yang sangat emosional yang pernah kami capai sejauh ini. Tanpa menjadi sebuah album dengan langkah/gestur yang besar, ini adalah album yang lebih dramatik dengan mood yang kuat dari sebelumnya.

sedikit flashback, kalau-kalau ada belum pernah yang mendengar club 8, bagiamana kalian ketemu satu sama lain?
Johan: kita bertemu di acara disko ketika kita berumur 16 dan 18 tahun. Kita suka jenis musik yang sama dan meskipun saya sudah bermain di beberapa band, seperti Acid House Kings dan Poprace, saya rasa alami ketika kita harus melakukan sesuatu bersama. Sejak itulah kita memulai Club 8.
Karolina:awalnya saya gabung dengan band Poprace sebagai penyanyi latar. Poprace lebih cenderung agak nge-rock. ada 5 orang dan saya yang kesemuanya dari latar belakang yang sama, contohnya Joakim Ödlund-si vokalis-juga adalah member dari Acid House Kings. Setelah beberapa tahun, Johan dan saya merasa bahwa kita ingin memembuat musik yang lebih gentle dan soft, lalu kita mulai merekam beberapa lagu kita sendiri di dalam kamarnya di Porta studio, tidak terlalu berisik, karena saya tidak ingin orangtua dan adiknya mendengar saya bernyanyi. Namun itu tidak terlalu beresiko karena saya bernyanyi agak berbisik juga! Kemudian kita mengirim kaset berisi 3 lagu rekaman studio rumahan itu ke 10 label yang berbeda. Lima diantaranya tertarik dan itu membuat kita terkejut. Kita memilih label spanyol, Siesta record dan lewat label itu kita merilis single berjudul “Me too” dan sebuah album berjudul Nouvelle di pertengahan 90an.


apakah betul kalian dulunya sepasang kekasih?

Johan: ya, dan semua berawal dari acara disko itu ...
Karolina: Ya, sebuah acara disko dengan nama yang konyol, saya bahkan tidak bisa menyebutkannya!waktu itu Johan satu sekolah dengan saya. Dia 2 tahun lebih tua dan saya selalu berfikir dia sangat cool..ha ha ha!Kita mulai berbicara soal musik, tentang The Cure danThe Smiths. Waktu itu hanya sedikit yang pernah denger, jadi kita pikir : ini pasti adalah orang yang keren yang punya selera yang bagus!Dan saat itu juga kita mengenali sesuatu yang 'lain' satu sama lain, sebuah perasaan melankolis.


perasaan melankolis?hehe, sepertinya saya tahu itu, btw, berapa lama kalian pacaran?
Kita pacaran selama lima tahun. sekarang kita hanya teman dekat, teman satu band. Itu lebih baik.

i see.. oke, di album friend i once had, kalian terdengar seperti band, di spring came, ada banyak elektronik dan trip hop sound disitu, apa sih yang kalian coba buat terhadap musik club 8?
Johan: Sebetulnya, album S/T kami [club 8], adalah album yang keluar setelah The Friend. Selama waktu friend i once had, saya sangat terpengaruh oleh bossa nova, pop ala C-86 dan campuran antara blueboy dan The Legendary Jim Ruiz Group, jadi itu jenis musik yang saya ingin buat waktu itu. Setelah The friend I once had, saya ingin membuat sesuatu yang tidak seperti tipikal indie band, sesuatu yang santai dan sophisticated. Sangat sedikit band yang menggabungkan indiepop dengan musik elektronik jadi ketika kami mulai itu, rasanya unik dan inspiring. Album keempat, Spring Came, rain feel adalah yang pertama yang kami rekam sendiri. Cukup stres juga saat kami merekam Club 8 soalnya studionya mahal dan sound engineeringnya sangat lamban. saya ingin bereksperimen dengan sound dan ketika kita punya studio sendiri, kita pasti bisa mewujudlkannya. Saya rasa kamu bisa mendengarnya di Spring Came, rain feel, it’s very lively in a quiet way.


menarik, by the way Karolina, apa sih influens utama kamu dalam membuat lagu dan menulis lirik?

Karolina: saya tidak membuat lagu dan lirik, Johan yang membuatnya. Tapi saya selalu memilih lagu mana yang akan dipakai untuk direkam. Saya jarang memilih lagu-lagu yang ceria. Kalau Johan menulis lagu-lagu ceria, saya rasa, sebaiknya dia rekaman aja dengan Acid House Kings. Saya nggak nyaman menyanyi tentang kebahagiaan. Udah pernah nyoba sih, tapi tetap aja nggak bisa, nggak tahu kenapa, saya nggak nemu perasaan itu dalam diri saya. Tapi bukan berarti saya tidak bahagia, it’s simply not my way of expressing myself when I sing.

kalian pernah main di beijing, hongkong dan Taipei, gimana sih rasanya main di Asia?
Johan: It’s wonderful!Wherever in Asia we go people always make us feel very welcome.
Karolina: Aha! saya menemukan beberapa hal yang spesial di beberapa tempat di Asia dimana kita pernah main:Penontonnya selalu ramah, mereka benar-benar serius menyimak kami dan sangat apresiatif. Saking seriusnya, mereka bahkan nggak pernah ngobrol atau minum selama kita main dan mereka baru berhenti bertepuk tangan saat saya mendekati mikrofon untuk bicara sesuatu. So, beda banget dengan penonton di Itali misalnya. Ketika kami main, penontonnya sedikit mabuk dan berisik dan itu membuat kami sedikit kesulitan. Kalo kami band noise-rock band sih nggak apa-apa, tapi musik kami kan yang santai dan membutuhkan pendengar yang kalem. So, gaya asia[sejauh yang kita lihat]cocok sekali untuk musik Club 8.

hehehe, masa sih?oh ya kalian kan juga bakal main ke Indonesia, kapan itu dan sedekat apa hubungan kalian dengan orang-orang di Indonesia?
Karolina: Kita akan main di Jakarta tanggal 10 Maret, dan tanggal 11 Maret di Bandung. Tak satupun dari kita yang pernah ke sana sebelumnya dan tentunya akan sangat menarik pergi ke sana. Saya nggak tahu apakah kami punya banyak pendengar dan penggemar di Indonesia, tapi kita sangat senang bertemu dengan banyak orang indonesia di myspace.

Edson juga habis main di sini, apa Pelle [vokalis Edson] cerita sama kalian?
Johan: Ya, Pelle udah cerita, kok. Dia sangat senang. Dia bilang Edson sangat populer di Indonesia dan orang-orang mengenalnya di jalan-jalan.

selain Mocca, siapa band Asia yang pernah mengajak kerjasama dengan kalian?
Karolina: Kita nggak pernah kerjasama dengan band lain, baik di Asia atau di luar Asia. Menyenangkan bisa bekerjasama dengan Mocca. They are so charming and talented. Mengagumkan kita bisa merekam lagu dan merekam videoklip bersama, tanpa sekalipun bertemu satu sama lain.

ya, itu juga yang membuat saya kagum, btw Johan, gimana scene indiepop di Swedia sekarang ini?
Johan: Better than ever!

nice, nah tentang label anda, Labrador, seberapa besar influens Labrador terhadap scene di Swedia?

Johan: Saya pikir labrador punya pengaruh yang kuat di indie scene Swedia. Ketika kita mulai, belum ada yang seperti ini, namun sekarang banyak orang memulai membuat label dan membuat musik yang nggak terlalu jauh dari apa yang kita lakukan.

dan selama 10 tahun berjalan, gimana perasaan kamu sekarang sejauh ini?

Johan: Saya pikir Labrador telah merilis banyak album dan lagu terbaiknya selama dekade ini, so saya sangat bangga. Masih sedikit label yang seperti Labrador saat ini; label yang dibangun di atas selera musik tertentu dan yang tidak memberikannya dorongan komersil . Saya pikir Labrador adalah satu dari banyak label dimana, jika kamu dengar band-bandnya dan kamu suka, kamu akan beli apapun dari label itu yang memang kamu suka.

gimana sih rasanya menjalankan label dan bermain di banyak band[Legends, Acid house Kings dan Club 8]?

Johan: saya butuh banyak band untuk membuat banyak album yang saya mau buat. Labrador lebih seperti pekerjaan sehari-hari daripada bermain di band dan menulis musik. Sebuah pekerjaan sehari-hari yang menyenangkan dimana saya bisa merilis musik swedia yang terbaik.

Band seperti Kings of Convenience dan Belle and Sebastian kini mendapatkan perhatian yang lebih besar, mengapa kalian tidak mau sebesar mereka?

Johan: We’ve never tried to become big and we play slow, melancholic music. Dan itu kurang diterima secara komersil seperti misalnya kamu dengerin Belle & Sebastian.
Karolina: Being a famous band has never been our goal. Kita lebih memilih sekumpulan orang di sekitar kita yang kecil namun intim. Namun memang ada kontradiksi : tentu saya ingin sebanyak mungkin orang bisa menemukan musik kita jika jika itu bisa memberi arti sesuatu bagi mereka, namun di saat yang sama saya inginnya sedikit tidak mau dikenal orang. Saya rasa saya cenderung introvert dibandingkan penyanyi lain. sesi tanda tangan nampaknya bukan saya banget. Dan saya juga sebetulnya tidak terlalu suka untuk menjawab interview.....tapi tentu saja, kadang ada serunya juga melakukan pengecualian hehehe...

Sejauh ini, apa kalian menganggap diri kalian besar?

Johan: Kita nggak merasa besar dimana-mana, tapi kita punya fan base kecil di setiap belahan dunia. Dan saya suka seperti itu. Album kita telah dirilis di 10-12 label berbeda, jadi kita cukup mengcover dunia dengan bagus.

Nanti di Indonesia, apa kalian hanya bermain full band atau hanya duet?

Johan: Di Indonesia nanti kita akan bermain full-band untuk pertama kali dalam 6-7 tahun ini, saya rasa bakal menarik.
Karolina: Ini akan menarik. Kita nanti akan bermain lagu-lagu lama dan baru. Kita adalah band yang asngat calm dengan gestur yang tidak besar. Untuk orang santai yang mendengar secara seksama. Kita sendiri jarang lho main live. Kita lebih ke band studio. Bahkan, club 8 hanya main 12 kali sepanjang karir kita.
Alasan kita nggak mau sering tampil adalah kita nggak pernah pengen terlalu dibiasakan. Kita Kita pengennya jarang, tapi tiap konser selalu spesial. Karena itu kita jarang berkata ya, ketika kita diundang main, tapi kali ini kita ingin dan kita sangat senang.

terakhir, apa yang saat ini kalian dengerin?

Johan: Tepatnya tadi saya baru dengerin ucoming albumnya Pelle Carlberg[Edson], judulnya In a Nutshell. Selain itu sekarang-sekarang ini saya dengerin The Wake, beberapa album Nouvelle Vague, Mattias Alkberg BD, The Field dan albumnya Tommy Körberg, Judy min vän.
Karolina: Pacar saya barusan dengerin Kings of Convenience, so dia lagi dengerin mereka sepanjang waktu. Tadinya saya nggak punya kesempatan untuk meracuninya musik-musik indie. Tapi syukur akhirnya dia mulai mendengarkan indie music, selain mozart, Beethoven dan Satie dan koleksi-koleksi berat lainnya. Tapi saya sendiri sekarang mulai suka Leonard Cohen, he's one of the best, i think.

oke, thanks atas waktunya, Johan, Karolina, sampai bertemu di Indonesia . ada yang ingin disampaikan untuk penggemar kalian?

Johan: thanks, wahyu dan sampai bertemu!

Karolina: Love to you all!

Rabu, 19 Maret 2008

JADI KAMU INGIN MENJADI BINTANG ROCK AND ROLL?


Bagaimana cara menjadi bintang rock and roll? Jawabannya mudah saja, “Ambil saja gitar elektrik dan habiskan waktu sejenak untuk belajar memainkannya.”


Kurang lebih begitu pesan yang ingin disampaikan Roger McGuinn, gitaris sekaligus pentolan grup The Byrds lewat petikan singelnya So You Want To Be A Rock ‘n’ Roll Star. Dirilis bulan Februari 1967, singel hit yang terambil dari album Younger Than Yesterday ini seolah menggambarkan kejenuhan mereka sebagai musisi folk yang ingin keluar dan mencoba bermain rock and roll. Lebih dari itu, singel ini ibarat refleksi personal McGuinn dan keempat personil The Byrds yang tak menyangka bahwa mereka akan menjadi bintang rock and roll yang berpengaruh dalam perjalanan musik rock Amerika era 60an.

Butuh 1 tahun bagi The Byrds untuk menjadi bintang rock and roll sejak terbentuk di Los Angeles, California tahun 1964. Awalnya mereka adalah musisi folk yang bermain di klab-klab kecil di sekitar California. Adalah menarik melihat sejarah pertemuan mereka menjadi sebuah band. Saat itu, Roger McGuinn sering tampil di klab folk Troubadour di Los Angeles membawakan lagu-lagu Beatles secara akustik. McGuinn sempat mengeyam pendidikan musik lewat Old Town School of Folk Music di Chicago. Ia sempat menjadi musisi pendukung band The Limeliters dan The Chad Mitchell Trio. Kembali ke Troubadour, saat itu, seorang audiens bernama Gene Clark, yang baru saja keluar dari band folk New Christy Minstrel, tertarik dengan kombinasi folk dan rock yang McGuinn mainkan. Setelah pertunjukan usai, Clark mengajak McGuinn untuk membuat lagu bersama. Keesokan harinya, mereka memainkan lagu mereka di klab yang sama. Tidak hanya Clark, seorang bernama David Crosby yang juga menonton mereka mendadak mendekat naik ke panggung dan mulai ikut bernyanyi dalam harmoni tinggi. Usut boleh usut, ternyata McGuinn sudah mengenal Crosby yang sebelumnya tergabung dalam grup Les Baxtres Balladers, namun McGuinn masih ragu saat Crosby mengajaknya bekerjasama. Pertemuan mereka bertiga sekaligus menjadi awal terbentuknya The Jet Set. Adalah Jim Dickson, produser di World Pasific Studios yang adalah teman dari Crosby yang kemudian menjadi manajer mereka.

The Jet Set kemudian merekam singel pertama mereka Please Let Me Love You. Uniknya, ketika singel ini diliris oleh perusahaan rekaman Columbia tahun 1964, mereka mengganti nama menjadi The Beefeaters. Karena singel tersebut tidak menjadi hit, maka Dickson mengusulkan untuk mencari pemain bas dan seorang drummer. Seorang eks pemain Mandolin bluegrass, Chris Hillman diundang Dickson untuk bermain bas. Hillman sendiri adalah bekas anggota band folk The Hillmen. Tanpa membuang waktu, McGuinn dan Crosby mencari drummer untuk melengkapinya. Suatu malam, saat mereka tengah berdiri di depan Troubadour, mereka melihat sosok Michael Clarke, berambut poni dan blonde, yang menurut mereka mirip Brian Jones dari The Rolling Stones. Clarke sendiri adalah bekas pemain conga yang biasa tampil di Big Sur di San Fransisco. Tanpa berpikir panjang, mereka berdua mengajak Clarke untuk bergabung meskipun mereka tidak tahu bahwa saat itu Clarke tidak bisa bermain drum.

Tampil dengan nama The Byrds, awal karir mereka ternyata belumlah bisa lepas dari folk. Baik McGuinn, Clark dan Crosby bermain gitar akustik 12 senar. Hillman tengah belajar dengan bas murah buatan Jepang sementara Clarke saat itu belum memiliki drum kit, meskipun ia sudah memiliki stik drum. Melihat keadaan ini, Dickson mencari pinjaman agar anak-anak asuhannya bisa memiliki instrumen sendiri. Mereka kemudian pergi menonton film Beatles Hard Days Night dan melihat instrumen yang dipakai Beatles. Akhirnya, dengan pinjaman Dickson sebesar 5.000 dolar ditambah hasil penjualan Banjo dan gitar akustik milik McGuinn, mereka membeli Gitar elektrik merk Rickenbacker 12 senar, gitar elektrik merk Gretsch, bas merk Gibson dan drum merk Ludwig serta beberapa amplifier kecil merk Epiphone. Tidak tanggung-tanggung, mereka bahkan membeli jas hitam demi untuk terlihat seperti The Beatles.

Setelah menghabiskan waktu belajar gitar elektrik, impian itu terwujud setelah sebuah singel Bob Dylan Mr. Tambourine Man mencetak hit dengan menduduki peringkat pertama tangga lagu top 40 Billboard pada 26 Juni 1965, 21 hari setelah singel ini dirilis. Sejak itu, nama The Byrds pun menjadi ramai dibicarakan banyak orang hingga Billboard pun mentahbiskan mereka sebagai band “folk-rock”. Pada singel ini, nyata sekali terlihat perpaduan antara melodi Dylan dan beat ala Beatles. Album Mr. Tambourine Man, yang kemudian dirilis pun patut dibubuhkan tinta emas dalam sejarah album rock di dunia. Konon, intro lagu The Bells Of Rhymney mengilhami George Harrison saat ia membuat intro yang mirip pada lagu If I Needed Someone dari album Beatles, Rubber Soul yang, uniknya, dirilis di tahun yang sama.

Selama kurun waktu 1965-68, The Byrds dianggap membuka jalan bagi banyak band di Amerika pada akhir 60an. Mereka menjadi pionir folk rock tahun 1965 lewat album Mr. Tambourine Man. Setahun sesudahnya, lewat album 5th Dimension, The Byrds menjadi menemukan pyschedelic rock, terutama lewat singel Eight Miles High yang memadukan antara rock, jazz ala John Coltrane dengan musik indian yang disebut raga. Singel ini pun sempat dilarang di stasiun radio Amerika akibat lirik yang sarat muatan obat bius. Kemudian di tahun 1968, lewat album Sweetheart Of Rodeo yang notabene dipandang sebagai album rock pertama yang mencampurkan unsur musik country, The Byrds menemukan country rock.

Namun ironisnya, menjadi band rock and roll bukannya tiada hambatan. Tidak lama setelah singel Eight Miles High dirilis, Gene Clark keluar dari band, hanya karena masalah sepele, ketakutannya untuk terbang saat mlereka akan tur dari Los Angeles ke New York. Sementara David Crosby, yang ternyata banyak bersilang pendapat dan ego dengan McGuinn, akhirnya menyusul Clark. Bersama dengan Stephen Stills dan Nash, ia membentuk Crosby Stills and Nash, yang menjadi populer berkat keterlibatannya di Woodstock tahun 1969. Dari sini, The Byrds banyak melakukan bongkar-pasang personil sampai akhirnya mereka berlima reuni kembali dalam album Untitled di tahun 1973.

Ternyata memang tidaklah terlalu sulit untuk menjadi bintang rock and roll. Setidaknya baik McGuinn, Clark, Crosby, Clarke dan Hillman telah membuktikannya. Dylan dan Beatles pun mengakuinya. Di luar itu, menjadi seorang bintang rock and roll ternyata tidak sekedar mengambil gitar elektrik dan menghabiskan sejenak untuk memperlajarinya. Lebih dari itu, dengan mengutip bait terakhir dari lagu yang sama, “ Namun kamu membayar untuk kekayaan dan popularitas/ Apakah itu semua permainan aneh/ kamu sedikit gila/ Uang yang datang juga protes publik/ Jangan lupa siapa dirimu/ kamu adalah bintang rock ‘n’ roll. ” Bait terakhir ini seakan memberi pesan, bahwa rock and roll adalah sebuah kutukan.

Rabu, 25 Juli 2007

interviews


" We have always been compared to Belle and Sebastian, "

said Carey Lander, representing rest of Camera Obscura's member. This articles on my short conversation with her, about 8 months ago ...

Hi, carey, how are you? what are you guys doin' right now?
It’s Friday night. I’m staying in. I have interviews to do. In a few weeks we’re off to tour Spain.

How you guys met ?are you came from different bands?
The band has been going for quite a long time with various members. We met through being friends, Glasgow is a small place.

I see that folk has been a discourse in nowadays indiepop bands, what's your reason to pick folk music as you musical way? are there specifically folk bands, musicians that influenced you?
I don’t really see what we do as folk. There is a stong folk scene in Scotland but it’s quite different to what we do. I think we have an old fashioned pop aesthetic.

Many people in Indonesia compares you with Belle and Sebastian, for the songs and videoclip, that has storytelling sense. What do you see this?
We have always been compared to Belle and Sebastian, but so has practically every band that comes out of Glasgow. I think it’s true that we have a lot in common with them musically, we share similar influences but both bands have ambition and it isn’t to sound like each other. In terms of comparing our videos, that is likely to be our unpretentious attitude and, practically speaking, we have used the same local director Blair Young. He has worked with a lot of Scottish bands.

Are you guys have a side project outside Camera Obscura?
I don’t and Tracy doesn’t. She’s pretty busy being the song writer. The other members play with other bands occasionally but this band comes first.

Are you also good friends with Belle and Sebastian? i noticed that stuart also directed one of your video “Eighties Fan”? how close is your relationships?
Stuart helped us out with a few things on the first album and various members of Belle and Sebastian have leant a hand from time to time but we don’t need as much help as we used to. We don’t have that much to do with each other really.

Now about your album 'get out of this country' what's so special about this album rather than your previous album?
Well I guess that’s really up to the listener to decide. We feel it’s our best and most accomplished work and so we are proud of it.

Other previous album, you guys sounds acoustical and minimalist,and lovelorn but in 'get out, ..” there's much electric sounds, as far as i know, belle and sebastian has done this approce when they turning a bit to more rockin'. so are you also doing the same thing ?
I think it’s a natural progression for bands as they develop. Our sound changed with this album because we worked with a producer for the first time but it’s still us playing the same instruments.have been really lucky this year and we’ve visited lots of countries for the first time. I was quite excited by Germany. I’d love to go on holiday to Berlin sometimes

Speaking about the tour, i heard that you guys are going to visit australia, is there any plan to transit to Asia, especially Singapore or Indonesia, maybe? i also heard that “get out” also released by Fruits records, from Singapore ?
We’ll have to see. We are going straight to Australia from America so we’ll have to see whether we can make it to Asia too. We would love to play there but it will be a very long trip.

Have you travel to Asia before? how do you think about Asia?
I’ve never been anywhere in Asia. It would be quite an experience I’m sure. It would be pretty amazing because the cultures are so different in many ways even though we are linked through music

Are there Asian indiepop bands you know?
I’m afraid not. I am not all that knowledgeable about contemporary music

Are there some rituals or something before get on stage?
No exciting rituals, no. Just to all be backstage at the right time. It’s quite important to get a bit of quiet time before we go on so that we can concentrate. And a beer often helps

What usually you doing during the tour? sightseeing? shopping?
We get very little free time when we’re touring. It’s rare that we get time off for shopping or sightseeing. A five minute walk is a treat. It is frustrating to be traveling to so many interesting places and having no time to really see them but we feel very luck anyway.

Glasgow is the city that born many great bands and musicians, from Donovan, Orange Juice to Belle and Sebastian, how do you see yourself as being part of the scene?
We do understand the importance of the Glasgow music scene and it is nice to be a small part of it but we don’t really feel part of a scene in any meaningful way. Bands tend to feel quite isolated when they’re away recording and touring and we’re probably the least knowledgeable about what’s going on at home.

What's the indiepop scene in Glasgow? See, I don’t know.

Are there somekind of annual indiepop gig or something?
Not really. This year there was an outdoor music festival in Glasgow for the first time and we played at it with Yo La Tengo, Broken Social Scene, Tilly and the Wall and others so it was not really about the local scene.
What are other glasgowian bands you want to recommend?
The Hermit Crabs, My Latest Novel, Dot to Dot, Music and Movement.

Did you often play in big festival such as Glanstonbury?
No, we hadn’t played many UK festivals before this year. The line-ups for these festivals are usually very mainstream and concentrate on big commercial acts. We have played some interesting festivals in Europe this summer though.

As many indiepop bands going signed up with major labels from Primal Scream, Ivy to Persephonic Bees, how do you comments about this?
Going with major labels works for some bands but I’m not sure it’s for us.

What are you listening to recently?
Midlake, Jim Noir, Neko Case, El Perro Del Mar, Jens Lekman, The Guillemots, M. Ward…

What do you do beside in the band? are you guys working in a permanent jobs or something?
We’re not really working at the moment. We have been touring pretty solidly since the album came out in June.

Where do you often met each other now?
In the pub. We are Scottish after all.

What's your opinion about myspace? It is strange how these fads come and go but this seems a particularly big one. I think it is a good way to find new bands and listen to music, it’s so easy to peruse. We have been surprised by our popularity on myspace. It’s a nice easy way to communicate with fans and we run our page ourselves so it’s a personal link.

What's going on with you guys in next 5 years?
Who knows? Five years is a long time. We will be touring till the end of April next year, then we will start to think about the next album. After that, I don’t know.

ok.. last, what do you want to say to readers and indiepop fans, especially your fans in indonesia?
Hello and thanks for listening. I hope we can make it over to play for you sometime,

thanks a lot guys ...
Yeah, you too... takecare

essay

the best of 1986!

Dari hanya kaset kompilasi, dianggap sebagai sebuah scene dan movement dan diamini sebagai sebuah genre, C86 menuai banyak pro dan kontra.

ADA ratusan link saat dengan mudahnya kita mengetik huruf C dan angka 86 di belakangnya di search engine. Dari mulai allmusic.com, wikipedia.org, indiepages atau situs mp3 gratis, radio indiepop, youtube sampai myspace, kita banyak jumpai kata C86 dari sejumlah besar band pop independen di luar negeri, bahkan di Indonesia sekalipun. Sebetulnya apa dan bagaimanakah formula yang dinamakan C86?Untuk 2 halaman, saya akan coba telisik.


kompilasi

Secara sahih, term C86 ditujukan untuk sebuah judul kaset kompilasi yang dibuat dan didistribusikan oleh tabloid New Musical Express di tahun 1986. Kompilasi tersebut berisi 22 band independen di UK (yang disebut independent guitar band) yang membawa musik yang agak seragam. Sebagian besar memainkan musik pop dengan influens beragam, dari 60's pop, girl-group, punk dan post punk. Lainnya hadir dengan sound yang noisy dan musik yang eksperimental yang terpengaruh dengan Captain Beefheart sampai The Fall. Pemilihan nama C86 sendiri bukan kebetulan, karena 5 tahun sebelumnya, NME pernah membuat kompilasi serupa dengan nama C81, yang berisi band-band lintas genre, dari punk, post punk, ska sampai electronic. C86 juga diambil desain umum dari kaset-kaset hometaping dari mulai C-60, C-90. The Pastels, The Shop Assistants, Primal Scream, McCarthy dan The Wedding Present adalah 5 dari band-band yang dikenal dan mendapat exposure yang cukup luas.

scene, genre, movement

Dari sekedar kompilasi sampai menjadi istilah yang berdiri sendiri. Sampai saat ini, keterkaitan antara C86 dengan scene, movement dan genre masih amat sangat membingungkan, yang pasti ini bermula sejak beberapa band yang muncul di era C86 namun tidak termasuk dalam kompilasi seperti Talulah Gosh, BMX Bandits dan Razocuts diamini oleh beberapa fans dan jurnalis sebagai efek dari C86, dan bahkan beberapa ada yang menyebut mereka sebagai band C86. Sementara pendapat kontra malah menuduh NME yang hanya mencoba menciptakan sebuah scene.

Meski tidak semuanya, namun 80% band yang ada di kompilasi ini membentuk sound yang seragam, jangly, 60s oriented, post punk beat dan gaya vokal yang disebut 'shambling' membuat banyak fans dan kritikus mengkategorikannya sebagai genre tertentu. Dan ini berdampak secara tak langsung terhadap gaya/genre 'Tweepop' yang lebih dikenal saat ini.

Teoris Pop, Simon Reynolds berkomentar bahwa C86 sebagai “Post punk dengan elemen radikalnya”. Unsur radikal yang penuh dengan muatan politik yang kuat inilah yang membuat C86 banyak diakui sebagai sebuah movement yang mempengaruhi banyak band. Selain sebagai sebuah jawaban akan kebosanan politik dan efek dari Thatcherisme di Inggris, namun isu gender lah yang paling kental terlihat dari C86 ini sebagai bentuk kecil perlawanan politik gender di masa itu. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya band-band bervokalis perempuan dalam kompilasi tersebut. Seperti yang diungkapkan Martin Whitehead, pemilik Label Subway Sect yang merilis Shop Assistants yang berpandangan bahwa C86 memiliki pengaruh politik, terutama gender. “ Sebelum C86, perempuan hanyalah menjadi pemanis di sebuah band, menurut saya C86 mengubah itu semua dimana mulai banyak perempuan yang mengadakan gigs, menulis fanzine dan menjalankan label”, komentarnya. Semangat politik ini yang menurut beberapa sumber, akhirnya memberikan pengaruh kepada band-band Riot Grrrl movement era 90an di Amerika dan Inggris.

Namun kembali, karena banyak yang memperdebatkan, predikat C86 ini malah makin kabur. Atas dasar itu, muncul makna baru yang lebih pas tentang C86 sebagai sekumpulan british independent guitar bands, sebagian besar diantara mereka terbentuk antara 85-89, beberapa diantaranya masuk dalam kompilasi bertajuk C86, dan band-band ini punya roots yang sama, dari mulai punk/post punk namun dengan spektrum yang lebih luas.

hal terbaik yang pernah ada

Meski menuai banyak perdebatan, tahun '86 dan C86 saya rasa patut untuk dikenang. C86 telah nyata menjadi inspirasi bagi banyak formasi scene indiepop di UK, Eropa (terutama di Swedia) dan di Amerika. Lebih dari sekedar menggambarkan suatu bentuk pattern musik yang melodius, jangle, 60s inspired, lewat band, musik, fanzine dan record label yang ada, C86 adalah artefak dari perkembangan musik independen yang terbaik yang pernah ada.S!

profile

Spin some Sugar!

Berawal dari menjadi opening dari sebuah band bernama thedyingsirens di sebuah tokobuku di Jakarta Selatan, these 6 pieces band mulai mencuri ketertarikan banyak orang yang mampir dan menonton disitu. Dengan komposisi lagu yang unik, mengemas 60s pop, folk, surf, vokal boy-and-girl-berbalas pantun, disandikan dalam bahasa yang cute bernama tweepop.

Ketika suatu kali seseorang bertanya, "Apakah ini sebuah band?tentulah, ini memang sebuah band. Namun sugarspin tidak sekedar band. Katakan ini side project, mengingat personil yang ada di dalamnya sudah memiliki band tetap, bahkan ada yang sampai bermain di banyak band, namun kamu bisa menyebutnya serius karena faktanya mereka telah membuat lagu-lagunya sendiri.

Adalah Dimas(drum-eks Souljah), Zara(keyboards-tamborin-Clover), Nanda(gitar-Clover), Tania(vokal-clover), Iksan(bass-d'zeek) dan Acum(gitar, pianika-bangkutaman/sweaters) yang berkumpul dan mulai ngeband, mencurahkan semua ide di luar bandnya masing-masing. Membawa pengaruh dari beberapa influence, mulai Ivy, Birdie, Camera Obscura, Aislers Set, Belle and Sebastian sampai band 60an macam Velvet Undeground, Sugarspin menyumbangkan warna bagi scene indiepop Jakarta yang gegap gempita. Terakhir lalu, saya melihat band ini di Jogjakarta dalam gelaran pentas musik bertajuk New Pollution bersama 8 band Jakarta lainnya. Lagu-lagu macam "1993" dan "Sarinah" menjadi perhatian tersendiri ketika mereka melantunkannya di acara itu. Dari mulai nuansa wistle ala Beach Boys, distorsi tipis gitar berbalut ketukan samar drum dan organ hammond disentil dengan melodi pianika yang jujur menghasilkan nada-nada manis dan childy, lugu dan innocent.

"1993 itu memang saya buat ketika saya mendengarkan banyak karya Phil Spector, ceritanya tentang kejadian musikal di tahun 90an, dari mulai Nirvana sampai The Stone Roses" ungkap Acum yang memang menggilai band asal Manchester ini. Penasaran?simak panggung mereka di acara-acara indiepop dan cari tahu tentang demo mereka yang akan segera rilis dalam waktu dekat ini.
S!

From The Editor

HELLO GUYS
Selamat datang di debut halaman elektronik dari zine fotokopian ini. Selamat menikmati sajian menarik dari mulai essay, ulasan, opini sampai reportase. Terimakasih buat ruang dan waktu yang membuat saya berkreasi, juga untuk 12" indiepop yang menemani hari-hari saya.

shine on!